Langsung ke konten utama

Mempertanyakan Perkataan Umar bin Khathab


Siapa yang tidak kenal perkataan "اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا" (Bekerjalah untuk dunia-mu seolah-olah engkau hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhirat-mu seolah-olah engkau mati besok?) Sebagian umat islam yang "melek" ulumuddin (ilmu-ilmu agama) saya yakin mengenal perkataan ini. Sebagian mengatakan kalimat ini adalah sabda Rasulullah SAW. Namun sebagian menolaknya, karena tidak ditemukan hadits yang shahih (bahkan yang dhoif pun gak ada) yang mengisahkan Rasulullah berkata demikian. Sebagian mengatakan ini adalah perkataan Umar bin Khathab. Sebagian juga ada yang berpendapat bahwa ini perkataan Ibnu 'Amr bin 'Ash. Sebagian lainnya hanya mengatakan Mahfuzhat (kata mutiara). Pendapat yang mengatakan kalimat di atas adalah perkataan Umar bin Khathab atau perkataan Ibnu Amr bin Ash nampaknya menjadi pendapat paling populer.

Dari kalimat Umar ra ini kemudian banyak memunculkan tafsiran. Bahkan tidak sedikit muballigh (penceramah) membawakan ceramahnya dengan tema besar merujuk pada perkataan Umar ra tersebut. Saya pernah membaca sebuah artikel yang menafsirkan kalimat Umar ini, katanya bahwa Umar ingin menunjukan prioritas. Seandainya "akhirat" adalah tugas A, dan "dunia" adalah tugas B, maka tugas manakah yang akan didahulukan jika deadline tugas A besok, sementara tugas B tahun depan? Maka tentunya kita akan berkonsentrasi pada tugas A terlebih dahulu. Setelah tugas A selesai barulah kita mengerjakan tugas B. Tafsiran lainnya memberikan rekomendasi agar dalam mengejar dunia kita jangan terlalu berambisi, tenang -tenang saja karena dunia itu tidak lebih baik dari akhirat. Sementara dari penafsir lainnya seolah membantah tafsiran sebelumnya, justru untuk mengejar kesenangan dunia kita harus sungguh-sungguh. Anggaplah kita akan hidup selamanya, sehingga semua kesenangan yang kita kejar akan kita nikmati tanpa perlu kehilangan karena keburu mati. Tapi sabagai penyeimbangnya agar tidak menghalalkan segala cara, ingatlah akhirat seolah-olah kita akan mati esok hari.

Tidak Sependapat Dengan Kata-kata Mutiara Ini
Terlepas dari mana sumbernya, apakah benar dari Umar bin Khathab atau kata mutiara yang dibuat oleh ahli bahasa, saya kurang sependapat dengan perkataan ini. Mengapa? Karena saya melihat ada beberapa kejanggalan dari kata-kata mutiara ini (menurut logika saya yang sederhana). Kalau perkataan ini murni perkataan Rosul, dan dinilai shahih oleh para ahli hadits saya tidak akan meragukannya. Sabda Rosul pasti benar, karena Rasulullah saw sudah dijamin oleh Allah swt (QS. 53: 2-4). Tapi karena ini bukan perkataan Nabi, maka sah-sah saja saya mempertanyakan dan mencoba memberikan pandangan. Sependek yang saya fahami, kata mutiara di atas memiliki masalah dalam dua hal: (1) struktur kalimat; (2) bernada sekularisasi

Struktur Kalimat Rancu
Ada dua gagasan dari kata mutiara ini, (1) Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selamanya; (2) Beramalah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau akan mati esok hari. Premis pertama berbenturan dengan premis kedua. Apakah mungkin seorang manusia bisa berdiri di dua sisi ekstrim yang saling bersebrangan? Pada satu saat dia dituntut untuk menganggap dirinya manusia kekal, tapi di saat lain dia dipaksa untuk berfikir bahwa dia akan mati esok hari? Ketika satu kalimat terdiri dari dua premis (atau lebih) dan premis-premis tersebut bertentangan, maka tidak dapat diterima secara ilmiah. Dan saya pikir Umar bin Khathab yang juga faham ilmu sastra tidak mungkin berfatwa dengan struktur kalimat yang rancu seperti ini. Demikian juga dengan Ibnu 'Amr bin Ash yang terdidik di masa yang sama dengan para sahabat.

Khawatir agenda sekularisasi
Ajaran utama sekularisme  adalah memisahkan antara urusan dunia dengan agama. Urusan agama berarti urusan akherat, berarti segala sesuatu yang hubungan dengan ritual, tidak perlu ikut mengurusi urusan dunia, dan itulah ajaran utama sekularisme. Negara sekuler berarti negara yang pengelolaannya dipisahkan dari agama. Tercatat negara-negara yang umunya dikenal sekuler seperti Kanada, India, Prancis, Korea Selatan, Turki. Negara-negara ini mentidakbolehkan agama mencampuri urusan-urusan kenegaraan. Semua pengelolaan negara diatur dengan pendekatan sains dan rasionalitas. Mereka tidak ingin agama ikut mengatur karena agama selalu berkaitan dengan ajaran-ajaran yang tidak membumi dan berbau takhayul.

Kata mutiara ini dikhawatirkan, memiliki agenda terselubung sekularisasi. Coba perhatikan dua-kalimat yang membedakan sikap terhadap kata "dunia" dan "akhirat." Untuk urusan dunia kita dianjurkan untuk memiliki persepsi hidup selamanya, sementara ingat mati hanya untuk urusan akhirat (ibadah ritual). Kata mutiara ini terasa aroma mendikotomikan urusan dunia dengan urusan akhirat. Bukankah itu adalah ajaran sekularisme/sekulerisme? Padahal Islam mengajarkan bahwa urusan dunia selalu terikat dengan urusan akhirat. Ketika seorang bekerja demi menghidupi keluarganya, maka semua itu tetap terkait dengan akhirat.

Kesadaran akan datangnya kematian dalam waktu dekat menjadi salah satu indikator keimanan. Suatu pagi Muadz bin Jabbal ra bertemu dengan Rasul saw. Rasul bertanya padanya: "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?" "Di pagi ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya. "Setiap kebenaran ada hakikatnya, maka apakah hakikat keimananmu?" tanya Rasul kepadanya. "Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka,”  jawab Muadz. Rasulullah pun berujar "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!” Jawaban Rasulullah yang terakhir dari dialog ini, menggambarkan persetujuan Rasul terhadap ucapan Muadz. Lebih dari itu, Rasulullah membenarkan dan menguatkan kata-kata Muadz bin jabal agar tetap menjaga keyakinan akan dekatnya dengan kematian, padahal konteks perbincangan itu adalah di waktu pagi ketika umumnya manusia akan memulai "urusan dunia."

Keyakinan akan bertemu ajal ini memberi dampak luar biasa dalam pekerjaan. Ada seorang teman yang bekerja sebagai bagian puchasing (pembelian) di perusahaannya. Beliau dikenal sebagai orang yang jujur dalam urusan membeli barang. Jika suplier menjual dengan harga 500.000,- dia sebut 500.000,-, jika suplier menjual dengan harga 45.000,- dia masukan pada bon pembeliannya 45.000,-. Singkatnya dia tidak pernah tergiur menambahkan harga di bon pembelian walau hanya 1% dari pembeliannya. Padahal untuk perusahaan sekaliber tempat Beliau bekerja, sekali belanja bisa mencapai nominal 5 Milyar rupiah. Sekiranya Beliau tertarik utnuk memasukan margin baginya 1% saja, sudah mendapat keuntungan sampai 50 juta rupiah. Atau bahkan walaupun hanya memasukan 0,5% pun, Beliau sudah bisa mengantongi 25 juta rupiah per sekali belanja. Namun itu tidak dilakukannya, dengan alasan: "Saya khawatir pada saat menuliskan lebih dari harga sebenarnya, ajal saya datang. Bukankah hartanya tidak bisa saya nikmati, sementara su'ul khatimah sudah saya dapatkan? Naudzubillah."

Perasaan ajal sudah dekat juga berdampak hebat dalam hubungan keluarga. Setiap malam anak saya minta dibimbing mengaji, mengalang hafalan, dan meminta dibacakan cerita sebelum tidur. Awal-awalnya saya sangat senang melihat antusiame anak saya untuk hal ini. Namun kemudian ketika saya dalam kondisi letih, request anak saya yang pertama ini menjadi beban tersendiri. Suatu ketika saya berfikir, "Apakah malam ini malam terakhir saya bisa bersama keluarga? Ayah seperti apa saya akan dikenang oleh anak saya ini? Apakah Ayah yang tidak mau membacakan cerita sedikitpun, atau Ayah luar biasa yang telah membimbingnya mengenal Al-Quran dan mengetahui kisah-kisah yang ada didalamnya?" Luar biasa ketika pikiran itu terlintas, saya menjadi seorang ayah yang bersemangat membacakan cerita-cerita yang ada dalam Quran ketika itu.

Maka dari itu saya, secara pribadi, mempertanyakan "apakah benar ini perkataan Umar bin Khathab? atau apakah benar ini perkataan Ibnu Amr bin 'Ash? Wallahu A'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memasuki Ramadhan. Perhatikan Kata-Kata

Memasuki Ramadhan, SEDIKITKAN BICARA TANPA MAKNA, APALAGI PERKATAAN PORNO! Karena Nabi kita yang mulia, shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda:  ليس الصيام من الأكل والشرب، إنما الصيام من اللغو والرفث  "Puasa itu bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi puasa itu menahan diri dari PERKATAAN LAGHWAH DAN RAFATS " (HR Ibnu Majah dan Hakim. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Tarhib wa Tarhib 1082)  Apa itu perkataan LAGHWAH? Perkataan LAGHWAH adalah perkataan yang sia-sia, tanpa makna, tidak memberi kebaikan di dunia apalagi di akhirat.  Apa itu perkataan RAFATS? Perkataan RAFATS adalah kiasan untuk aktifitas hubungan seksual, berkata jorok, porno, atau segala sesuatu yang mengarah kepada aktifitas tersebut.  Semoga Allah membimbing kita untuk mendapatkan kebaikan ramadhan. Karena kalau tidak mendapatkan kebaikan di bulan ini, lalu kapan lagi?   #ramadhankareem #ramadhan2023 #ramadhan #رمضان_كريم

I'tikaf Ramadhan 1444 H

Lailatul Qadr atau malam kemuliaan adalah malam yang lebih baik dibanding 1000 bulan. Demikianlah Allah menjelaskannya dalam Al-Quran. Sehingga, orang yang beribadah di malam itu walau hanya satu rakaat shalat, walah hanya satu huruf Al-Quran, maka itu lebih baik dibanding 30.000 kali diulang (1000bulan x 30hari).  Malam ini hanya terjadi satu kali dalam satu tahun. Maka kalau kita memiliki 360 malam dalam satu tahun, rasanya wajar kita merelakannya 10 malam saja untuk meraih keuntungan yang lebih baik dan lebih indah dibanding 1000 bulan. Masalahnya adalah kita tidak tahu malam keberapa lailatul qadr itu hadir. Oleh karena itulah, Rasulullah ﷺ melaksanakan I’tikaf di masjid di malam-malam akhir Ramadhan, agar tidak terlewat mendapatkan lailatul qadr. Secara Bahasa I’tikaf اعتكاف adalah masdar dari اعتكف يعتكف artinya menetap di satu tempat. Sedangkan secara istilah syar’i I’tikaf adalah ‏الإقامة في المسجد بنية العبادة أو التفرغ للعبادة فقط‏ .   " Berdiam diri di masjid deng

Gen Santri Adalah Pejuang

Mendekati tanggal 22 Oktober yang diperingati sebagai Hari Santri, penulis terpikir untuk menghadirkan penggalan makalah yang berisi tentang sejarah pesantren dan perjuangan para santri dan kiayi di masa penjajahan. Berikut adalah penggalan makalah yang pernah penulis buat dengan beberapa penyesuaian untuk dipublish juga di website www.baiturrahman.com .  Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan umat Islam tertua yang telah mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam catatan sejarah, bahkan pondok pesantren telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Dikatakan bahwa ketika para pendakwah Islam abad ke-14 sampai ke-15, yang kita kenal dengan walisongo, mereka mendakwahkan Islam salah satunya dengan membangun lembaga pendidikan berupa pondok pesantren. Tercatat bahwa Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, berdiri sejak tahun 1475 (abad ke-15 M) yang didirikan oleh Syaikh As-Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani. Beliau adalah salah seorang sayyid (keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang b