Tidak banyak cendekiawan Muslim yang menguasai khasanah Islam dan
Barat sekaligus. Salah satunya adalah Dr. Anis Malik Thoha. Pria
kelahiran Demak 31 Desember 1964, ini terkenal kritis bila berbicara
tentang peradaban Barat, namun tetap menggunakan argumentasi ilmiah yang
kokoh. Maka tidak mengherankan disertasinya berjudul: “Al-Taaddudiyyah
al-Diniyyah: Ru’yah Islamiyyah” (Pluralisme Agama, Pandangan Islam)
diganjar Gold Medal dari International Islamic University Islamabad
(2005) dan Isma’il Al-Faruqi Publications Award dari International
Islamic University Malaysia (2006). Karyanya yang diindonesiakan menjadi
“Tren Pluralisme” ini juga meraih Best Non-Fiction Award dari Islamic
Book Fair 2007. Saat ini Khatib ‘Aam Syuriah NU cabang Malaysia ini
masih tercatat sebagai Assistant Profesor di Department Ushuluddin and
Comparative Religion, International Islamic University Malaysia (IIUM).***
Menurut Anda apa permasalahan utama perguruan tinggi di tanah air saat ini?
Menurut saya masalah yang dihadapi pendidikan kita pada umumnya sangat kompleks. Masalah ini tidak saja menyangkut corak dan mutu pendidikan formal yang ada tapi juga keterjangkauannya bagi semua lapisan masyarakat kita, khususnya pendidikan tinggi yang semakin lama malah semakin mewah. Selain itu corak pendidikan saat ini tidak lagi tidak mencerminkan jati-diri dan karakter sebuah bangsa yang merdeka. Meski secara fisik Indonesia telah merdeka, namun kultural “terkesan“ senang dijajah, dan bahkan menyerahkan diri secara sukarela untuk dijajah.
Bagaimana halnya dengan perguruan tinggi Islam?
Kondisi ini berlaku untuk semua jenis dan level pendidikan, termasuk pendidikan tinggi Islam. Memang, pada awalnya sudah ada upaya serius dari pihak pemerintah untuk mendirikan perguruan tinggi yang Islami dan dinamakan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN). Hanya saja, karena satu dan lain sebab, konsep PTAI ini tidak berkembang sebagaimana diidealkan, sehingga hanya sebatas fakultas-fakultas keislaman saja: Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, dan Dakwah. Inilah yang nampaknya kemudian mendasari dirubahnya menjadi institut, yaitu IAIN.
Sayangnya, yang terjadi kemudian adalah fenomena paradoks. Bagaimana tidak! Orang-orang yang belajar Ushuluddin malah mempertanyakan prinsip-prinsip Islam dan orang yang belajar Syari’ah malah menggugat syariat Islam. Dan yang sangat menggelikan, di saat yang sama, ketika ekonomi Islam dan Islamic banking lagi boom dan naik daun seperti sekarang ini, IAIN yang sudah mengkonversi-diri menjadi UIN pun tidak ragu-ragu membuka program ekonomi Islam dan Islamic banking. Kan lucu, seakan-akan ekonomi Islam dan Islamic banking itu nggak ada kaitannya sama sekali dengan syari’ah.Mengapa bisa terjadi seperti itu?
Jika kita telisik ternyata penyebab utama paradoks ini kan Barat yang menjadi kiblat pendidikan kita. Padahal para pakar dan praktisi pendidikan di Barat sendiri sudah mulai merasakan krisis yang serius yang melanda sistem pendidikan tinggi mereka, kok kita masih setia mengikuti Barat.
Bisakah Anda memberikan contohnya?
Salah satu contoh kegundahan ini dapat dilihat pada buku yang berjudul Excellence without a Soul (kecemerlangan tanpa ruh/jiwa), ditulis oleh Prof. Harry R. Lewis, seorang bekas dekan Harvard College yang memimpin selama kurang lebih 10 tahun. Menurut professor yang pernah mengajar Bill Gates, bos Microsoft, sistem pendidikan Harvard, dan Barat pada umumnya, telah berhasil menciptakan robot-robot bernyawa (manusia), atau manusia yang tak memiliki jiwa sebagai manusia. Kekayaan material dan penguasaan ekonomi dan alam telah mereka capai, tapi hal ini tidak serta-merta menjamin kebahagiaan yang diidam-idamkan setiap manusia. Terbukti dengan semakin tingginya kasus-kasus depresi dan bunuh-diri yang terus menerus meningkat angkanya dari tahun ke tahun. Semua ini bisa dikatakan sebagai efek langsung atau tidak langsung dari pendidikan sekular yang “soulless” tadi.
Dengan kata lain sistem pendidikan sekular dan liberal telah terbukti kebankrutannya, sehingga Barat sendiri mencoba keluar dari krisis ini. Dalam hal ini, cara yang paling rasional adalah melakukan desekularisasi atau deliberalisasi (membuang pandangan sekular tadi dan kembali kepada agama – ed). Namun bagi Barat, cara ini tentu tidak mudah, untuk tidak mengatakan hampir mustahil, dikarenakan beban sejarah agama-budaya mereka karena Gereja pada abad kegelapan memusuhi sains dan setiap penemuan saintifik melalui institusi inquisition-nya.***
Lalu, bagaimana seharusnya umat Islam menghadapi krisis ini?
Bagi kita umat Islam, cara desekularisasi atau deliberalisasi yang paling menjanjikan adalah “Islamisasi”. Islamisasi di sini dalam arti yang sebenarnya dan sepenuhnya (kaffah), yang mencakup konsep, landasan filosofis, visi dan misi pendidikan, juga kurikulumnya. Jadi, semuanya ini harus diislamkan, disyahadatkan, ditauhidkan, yakni disesuaikan dengan, atau lebih tepatnya ditundukkan kepada iradah Allah (kehendak Allah SWT) terhadap semua makhlukNya. Semuanya mesti dibangun dalam framework worldview atau weltanschauung Islam yang komprehensif dan balance.
Maka dengan sendirinya sistem pendidikan yang bersyahadat dan bertauhid ini akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang menjunjung tinggi karakter dan moral etika serta “khasyyatullah” (takut dosa, azab, dan neraka-Nya) sesuai dengan yang ditegaskan al-Qur’an surat Fathir: 28 (innama yakhsya Allaha min ibadih al-ulama’ – diantara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya hanyalah orang-orang yang berilmu). Nah, parameter keilmuan dalam Islam itu adalah “khasyyatullah” ini. Jadi, kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi kerjanya menggugat dan menentang Allah, itu sebenarnya mengindikasikan kejahilan atau kebodohan, bukan keilmuan. (Wendi Zarman)
Sumber: Pimpin Bandung
Tulisan ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 16 Juni 2011
Menurut Anda apa permasalahan utama perguruan tinggi di tanah air saat ini?
Menurut saya masalah yang dihadapi pendidikan kita pada umumnya sangat kompleks. Masalah ini tidak saja menyangkut corak dan mutu pendidikan formal yang ada tapi juga keterjangkauannya bagi semua lapisan masyarakat kita, khususnya pendidikan tinggi yang semakin lama malah semakin mewah. Selain itu corak pendidikan saat ini tidak lagi tidak mencerminkan jati-diri dan karakter sebuah bangsa yang merdeka. Meski secara fisik Indonesia telah merdeka, namun kultural “terkesan“ senang dijajah, dan bahkan menyerahkan diri secara sukarela untuk dijajah.
Bagaimana halnya dengan perguruan tinggi Islam?
Kondisi ini berlaku untuk semua jenis dan level pendidikan, termasuk pendidikan tinggi Islam. Memang, pada awalnya sudah ada upaya serius dari pihak pemerintah untuk mendirikan perguruan tinggi yang Islami dan dinamakan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN). Hanya saja, karena satu dan lain sebab, konsep PTAI ini tidak berkembang sebagaimana diidealkan, sehingga hanya sebatas fakultas-fakultas keislaman saja: Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, dan Dakwah. Inilah yang nampaknya kemudian mendasari dirubahnya menjadi institut, yaitu IAIN.
Sayangnya, yang terjadi kemudian adalah fenomena paradoks. Bagaimana tidak! Orang-orang yang belajar Ushuluddin malah mempertanyakan prinsip-prinsip Islam dan orang yang belajar Syari’ah malah menggugat syariat Islam. Dan yang sangat menggelikan, di saat yang sama, ketika ekonomi Islam dan Islamic banking lagi boom dan naik daun seperti sekarang ini, IAIN yang sudah mengkonversi-diri menjadi UIN pun tidak ragu-ragu membuka program ekonomi Islam dan Islamic banking. Kan lucu, seakan-akan ekonomi Islam dan Islamic banking itu nggak ada kaitannya sama sekali dengan syari’ah.Mengapa bisa terjadi seperti itu?
Jika kita telisik ternyata penyebab utama paradoks ini kan Barat yang menjadi kiblat pendidikan kita. Padahal para pakar dan praktisi pendidikan di Barat sendiri sudah mulai merasakan krisis yang serius yang melanda sistem pendidikan tinggi mereka, kok kita masih setia mengikuti Barat.
Bisakah Anda memberikan contohnya?
Salah satu contoh kegundahan ini dapat dilihat pada buku yang berjudul Excellence without a Soul (kecemerlangan tanpa ruh/jiwa), ditulis oleh Prof. Harry R. Lewis, seorang bekas dekan Harvard College yang memimpin selama kurang lebih 10 tahun. Menurut professor yang pernah mengajar Bill Gates, bos Microsoft, sistem pendidikan Harvard, dan Barat pada umumnya, telah berhasil menciptakan robot-robot bernyawa (manusia), atau manusia yang tak memiliki jiwa sebagai manusia. Kekayaan material dan penguasaan ekonomi dan alam telah mereka capai, tapi hal ini tidak serta-merta menjamin kebahagiaan yang diidam-idamkan setiap manusia. Terbukti dengan semakin tingginya kasus-kasus depresi dan bunuh-diri yang terus menerus meningkat angkanya dari tahun ke tahun. Semua ini bisa dikatakan sebagai efek langsung atau tidak langsung dari pendidikan sekular yang “soulless” tadi.
Dengan kata lain sistem pendidikan sekular dan liberal telah terbukti kebankrutannya, sehingga Barat sendiri mencoba keluar dari krisis ini. Dalam hal ini, cara yang paling rasional adalah melakukan desekularisasi atau deliberalisasi (membuang pandangan sekular tadi dan kembali kepada agama – ed). Namun bagi Barat, cara ini tentu tidak mudah, untuk tidak mengatakan hampir mustahil, dikarenakan beban sejarah agama-budaya mereka karena Gereja pada abad kegelapan memusuhi sains dan setiap penemuan saintifik melalui institusi inquisition-nya.***
Lalu, bagaimana seharusnya umat Islam menghadapi krisis ini?
Bagi kita umat Islam, cara desekularisasi atau deliberalisasi yang paling menjanjikan adalah “Islamisasi”. Islamisasi di sini dalam arti yang sebenarnya dan sepenuhnya (kaffah), yang mencakup konsep, landasan filosofis, visi dan misi pendidikan, juga kurikulumnya. Jadi, semuanya ini harus diislamkan, disyahadatkan, ditauhidkan, yakni disesuaikan dengan, atau lebih tepatnya ditundukkan kepada iradah Allah (kehendak Allah SWT) terhadap semua makhlukNya. Semuanya mesti dibangun dalam framework worldview atau weltanschauung Islam yang komprehensif dan balance.
Maka dengan sendirinya sistem pendidikan yang bersyahadat dan bertauhid ini akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang menjunjung tinggi karakter dan moral etika serta “khasyyatullah” (takut dosa, azab, dan neraka-Nya) sesuai dengan yang ditegaskan al-Qur’an surat Fathir: 28 (innama yakhsya Allaha min ibadih al-ulama’ – diantara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya hanyalah orang-orang yang berilmu). Nah, parameter keilmuan dalam Islam itu adalah “khasyyatullah” ini. Jadi, kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi kerjanya menggugat dan menentang Allah, itu sebenarnya mengindikasikan kejahilan atau kebodohan, bukan keilmuan. (Wendi Zarman)
Sumber: Pimpin Bandung
Tulisan ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 16 Juni 2011
Komentar
Posting Komentar