Pernahkah menemukan orang yang mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat, dan habis dalam waktu singkat juga? Atau pernahkah kita menemukan orang yang menabung bertahun-tahun, namun hasilnya habis dalam hitungan jam saja? Hal-hal demikian merupakan ciri orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan finansial. Yaitu orang-orang yang tidak mempu mengelola keuangannya. Sehingga uang tidak bertahan lama dalam genggamannya. Tulisan ini, saya buat untuk sharing pengalaman kami di rumah membelajarkan anak kami yang pertama tentang pengelolaan keuangan pribadi.
Pendidikan kecerdasan finansial dapat dilakukan sejak dini. Dalam salah satu buku parenting yang pernah saya baca dan diskusikan dengan pasangan saya, untuk melatih kecerdasan finansial dapat dilakukan dengan pemberian uang jajan. Hal inilah yang sekarang sedang dijalankan kepada anak kami, Teteh Shofi.
Uang jajan bagi Teteh Shofi adalah reward yang dia dapatkan ketika menunjukan prestasi. Dengan demikian kalau tidak menunjukan prestasi, maka Teteh Shofi bisa saja tidak mendapat uang jajan. Untuk usianya, pada saat tulisan ini ditulis, yang baru 4 tahun, kami memberikan uang jajan apabila dia membereskan tempat tidurnya sendiri dan melaksanakan shalat (asal melaksanakan). Kemudian, uang jajan kami berikan hanya satu kali di awal aktifitasnya. Ketika pergi ke sekolah kami berikan uang jajan sebesar dua ribu rupiah, dan dia tidak mendapatkan uang jajan lagi sampai sore. Sekalipun Teteh Shofi merengek, nangis-nangis, bahkan sampai teriak-teriak minta jajan siang hari, kami tidak memberikannya.
Hasilnya, RUARRR BIAZAAA. Suatu hari Teteh Shofi ingin membeli susu coklat yang harganya Rp. 2.500. Dia mengadu kepada kami bahwa uang yang dia bawa tidak cukup. Maka kami sampaikan: "ya, beli yang cukup-cukup saja." Dia minta tambahan, dan kami tetap konsisten untuk tidak memberi, karena untuk konsumsinya, kami sudah sediakan susu murni di rumah. Dua hari kemudian dia memperlihatkan susu coklat yang dia inginkan. Kami tanya:
"dapet susu dari siapa?"
"Teh Ofi beli sendiri," katanya.
"Emang Teh Shofi punya uangnya?"
"Kan uang yang kemaren masih ada," jawabnya.
Seketika itu kami langsung bersyukur, karena dia sudah belajar untuk berkorban tidak jajan demi mendapatkan susu yang dia inginkan. Bagi kami ini adalah starting point penting bagi perkembangan emosinya. Karena di usianya yang baru 4 tahun, dia sudah belajar mengelola keinginannya. Untuk meraih tujuannya Dia belajar bermujahadah, bukan merengek meminta-minta kepada orang tua.
Kami merencanakan kalau sudah masuk SD anak kami yang pertama ini akan diberi uang jajan secara berjenjang. Mulai dari pemberian uang jajan setiap hari, kemudian dinaikan menjadi 2 hari sekali, 3 hari sekali, 1 minggu sekali, bahkan satu saat kami akan memberikannya 1 bulan sekali. Harapan kami adalah, dengan belajar mengelola uang pribadi, dia belajar mengelola keinginan dan emosinya. Sehingga setelah berkeluarga kelak, dia menjadi manager keluarganya, sudah memiliki kecakapan yang matang mengelola keuangan keluarga, mudah-mudahan. Amin
Pendidikan kecerdasan finansial dapat dilakukan sejak dini. Dalam salah satu buku parenting yang pernah saya baca dan diskusikan dengan pasangan saya, untuk melatih kecerdasan finansial dapat dilakukan dengan pemberian uang jajan. Hal inilah yang sekarang sedang dijalankan kepada anak kami, Teteh Shofi.
Uang jajan bagi Teteh Shofi adalah reward yang dia dapatkan ketika menunjukan prestasi. Dengan demikian kalau tidak menunjukan prestasi, maka Teteh Shofi bisa saja tidak mendapat uang jajan. Untuk usianya, pada saat tulisan ini ditulis, yang baru 4 tahun, kami memberikan uang jajan apabila dia membereskan tempat tidurnya sendiri dan melaksanakan shalat (asal melaksanakan). Kemudian, uang jajan kami berikan hanya satu kali di awal aktifitasnya. Ketika pergi ke sekolah kami berikan uang jajan sebesar dua ribu rupiah, dan dia tidak mendapatkan uang jajan lagi sampai sore. Sekalipun Teteh Shofi merengek, nangis-nangis, bahkan sampai teriak-teriak minta jajan siang hari, kami tidak memberikannya.
Hasilnya, RUARRR BIAZAAA. Suatu hari Teteh Shofi ingin membeli susu coklat yang harganya Rp. 2.500. Dia mengadu kepada kami bahwa uang yang dia bawa tidak cukup. Maka kami sampaikan: "ya, beli yang cukup-cukup saja." Dia minta tambahan, dan kami tetap konsisten untuk tidak memberi, karena untuk konsumsinya, kami sudah sediakan susu murni di rumah. Dua hari kemudian dia memperlihatkan susu coklat yang dia inginkan. Kami tanya:
"dapet susu dari siapa?"
"Teh Ofi beli sendiri," katanya.
"Emang Teh Shofi punya uangnya?"
"Kan uang yang kemaren masih ada," jawabnya.
Seketika itu kami langsung bersyukur, karena dia sudah belajar untuk berkorban tidak jajan demi mendapatkan susu yang dia inginkan. Bagi kami ini adalah starting point penting bagi perkembangan emosinya. Karena di usianya yang baru 4 tahun, dia sudah belajar mengelola keinginannya. Untuk meraih tujuannya Dia belajar bermujahadah, bukan merengek meminta-minta kepada orang tua.
Kami merencanakan kalau sudah masuk SD anak kami yang pertama ini akan diberi uang jajan secara berjenjang. Mulai dari pemberian uang jajan setiap hari, kemudian dinaikan menjadi 2 hari sekali, 3 hari sekali, 1 minggu sekali, bahkan satu saat kami akan memberikannya 1 bulan sekali. Harapan kami adalah, dengan belajar mengelola uang pribadi, dia belajar mengelola keinginan dan emosinya. Sehingga setelah berkeluarga kelak, dia menjadi manager keluarganya, sudah memiliki kecakapan yang matang mengelola keuangan keluarga, mudah-mudahan. Amin
Komentar
Posting Komentar