Fenomena social media saat
ini yang sangat tinggi membuat setiap orang mudah mengeluarkan unek-uneknya.
Data dari kemenkominfo, tahun 2013 pengguna facebook Indonesia menyentuh angka 65
juta orang. Pengguna aktif yang update setiap hari mencapai angka 33 juta.
Pengguna aktif perhari dari angka 33 juta tadi, 28 juta mengaksesnya dengan
perangkat mobile. Data terebut baru facebook saja, belum lagi twitter yang
mencapai 20 juta, Google+ mencapai 3,4 juta, dan pengguna BBM yang fantastis,
(per april 2014) mencapai 113 juta orang di Indonesia saja. Dari jumlah pengguna social media
yang tinggi tersebut setiap hari selalu ada status-status curcol (curhat
colongan) yang ditulis penggunanya dalam berbagai tema. Status-status curcol
tersebut misalya: “Listening Sepatu – Tulus.” Status tersebut ditulis
pada saat si pemilik akun mendengarkan lagu berjudul Sepatu dari Tulus. Ada
juga “Jadi orang care dikit kek,” status yang ditulis pada saat dia
merasa kecewa dengan sikap cuek temannya. “Galau kelas dewa,” “senangnya....,”
“di kantor begitu ramai, tapi hati ini merasa sendirian,” “hujan-hujan gini
enaknya ngapain ya?,” “otw to jogja,” dan berbagai redaksi status lainnya
yang ditulis persis dengan kondisi yang dialami pemiliknya.
Saya yakin berbagai kondisi yang
ditulis ke dalam status, twit, atau apapun itu, merupakan ungkapan hatinya. Ada stimulus yang masuk ke dalam dirinya, deterima hatinya, kemudian hati
tersebut memberikan respons, maka munculah status di atas sebagai salah satu respon hati terhadap stimulus tersebut. Respon positif melahirkan kalimat status positif, seperti :"Dunia ini indah, kawan. Woles aja." Dan ketika hati merespon negatif, munculah kalimat status bernada negatif, seperti: "ANJ**G LU!"
Saya teringat petuah seorang ustadz, Beliau mengatakan bahwa hati orang-orang beriman adalah bejana-bejana Allah di bumi ini. Petuah ini bukan petuah sembarangan. Petuah ini dilandasi sebuah hadits yang dishahihkan Syaikh Al-Bani:
Saya teringat petuah seorang ustadz, Beliau mengatakan bahwa hati orang-orang beriman adalah bejana-bejana Allah di bumi ini. Petuah ini bukan petuah sembarangan. Petuah ini dilandasi sebuah hadits yang dishahihkan Syaikh Al-Bani:
Bejana yang baik, digunakan untuk menampung benda-benda bermanfaat. Ada bejana yang digunakan untuk menyimpan air minum, beras, dan lain sebagainya. Bejana yang bersih hanya akan menampung material-material bersih pula. Jika ada bejana yang dengan sengaja diisi apa saja, air minum masuk, beras masuk, plastik bekas makanan masuk, kertas bekas pembungkus gorengan juga masuk, sendal jepit masuk, batu, pasir, bahkan kotoran kuda juga masuk, maka bejana tersebut sudah berubah fungsi menjadi TONG SAMPAH.
Hati kita adalah bejana Allah, bukan tong sampah. Maka dari itu, pilihlah stimulus yang datang, jangan semua dimasukan ke dalam hati. Karena kalau semua stimulus, positif dan negatif, masuk ke dalam hati kita berartii hati ini sudah berubah fungsi dari bejana menjadi tong sampah. Apa indikator hati menerima stimulus? Indikatornya muncul dalam bentuk reaksi baik lisan, tulisan, maupun ekspresi lainnya. Ketika sampah pemikiran datang ke dalam hati, saring dulu, sersor dulu, diterima atau tidak oleh hati kita. Positif terima, negatif abaikan saja. Sehingga fungsi hati kita tetap sebagai bejana Allah, tidak beralih menjadi tong sampah.
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar